Minggu, 09 Maret 2014

POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK



A.           Ilmu  komunikasi.
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dengan symbol verbal dan nonverbal yang dikirim, diterima dan diartikan (Corrando, 2004: 3)
Komunikasi dalam keluarga secara jelas merupakan proses yang dinamis. Penyampaian pesan yang akurat dan pemahaman atas pesan yang dikirim olek komunikator ke komunikan tidak hanya fital dalam pemaknaandan implementasi tujuan akan tetapi juga merupakan sebagai sarana alat penting agar supaya pesan yang dikirim oleh komunikator difahami sehingga akan segera dilaksanakan oleh komunikan. Menurut (Purwanto, 2003: 10) ), unsur-unsur yang terdapat dalam proses komunikasi diantaranya adalah seperti yang digambarkan:
Pesan
 
media
 
Komunikan
 
Feedback
 
Komunikator
 
                                        
Hambatan
 
    
Model komunikasi  menerut Shannon dan Weave.
1)   Sumber. Sumber sering disebut pengirim pesan (komunikator)
2)   Pesan. Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirin pesan kepada penerima pesan.
3)  
10
 
Media. Alat yang digunakan untuk membantu mengirim pesan dari sumber ke penerima, ini bisa bersifat langsung atau tidak langsung.
4)   Penerima. Pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh komunikator.
5)   Pengaruh. Perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan olh penerima pesan sebelum dan sesudah menerima pesan.
6)   Umpan balik. Salah satu bentuk dari pengaruh yang berasal dari penerima pesan.
B. Pola komunikasi dalam keluarga
Pola komunikasi merupakan deskripsi ideal mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi dan analogi yang mengabtraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan unsur, sifat, atau komponen guna membantu merumuskan atau menjelaskan suatu teori dan menyarankan hubungan (Mulyana, 2000: 121).
Komunikasi antar anggota keluarga adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang dengan mengunakan simbul–simbul tertentu atas dua orang sehingga keduanya tatap muka secara langsung, lebih intensif, dan lebih memuaskan. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik serta bagai mana orang lain mampu memahami pesan yang dikirim oleh komunikator mampu dipahami oleh komunikan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh komunikator. Setiap kali kita melakukan komunikasi, kita tidak sekedar menyampaikan isi pesan, tetapi kita juga menentukan kadar hubungan antarpersonal, bukan saja menentukan  content tetapi juga relationship (Mulyana, 2000: 69).
Pola komunikasi di anggota keluarga adalah setiap anggota keluarga yang mengembangkan potensinya melalui komunikasi dengan cara setiap anggota keluarga bersifat aktif, reaktif, dan kreatif di menafsirkan serta pengambilan perannya masing-masing anggota keluarga. Di komunikasi antar anggota keluarga setidaknya ada tiga karakteristik: 1. Keduanya mempunyai hubungan yang lebih dekat, yang tidak mengalami kendala jara. 2. Keduanya aktif mengirim dan menerima pesan, yang langsung dapat melakukan koreksi jika terjadi kesalahpahaman. 3. Pesan tidak saja bersifat verbal tetapi juga nonverbal, sehingga melengkapi dan mempermudah pemahaman pesan yang dikirim (Purwasito, 2003: 165 ).
Dari beberapa pengertian pola komunikasi diatas maka dapat disimpulkan polas komunikasi didalam keluarga adalah proses pengalihan informasi dari orang tua kepada anak dilakukan secara langsung dengan ditandai oleh hubungan antarpersonal yang lebih baik agar pesan yang dikirimg oleh komunikator (orang tua) dapat difahami dan dimengerti oleh anaknya (kominikan).
Pola komunikasi antara anggota keluarga, terutama antara orang tua denga anak, maka agar  lebih efektif dengan menggunakan pola komunikasi dyadic, ini disebabkan komunikator dapat langsung memusatkan perhatian kepada seorang komunikan, sehingga menguasai frame of reference komunikan sepenuhnya dan umpan balik bisa langsung terjadi di antara komunikator dan komunikan.

Pola komunikasi.
Secara umum pola komunikasi dapat dibedakan kedalam saluran komunikasi formal dan non formal (Porwanto, 2003: 79).
1.    Saluran komunikasi formal.
Saluran komunikasi formal merupakan proses penyampaian pesan dari pimpinan kepada bawahan atau dari manejer ke karyawan. Pola komunikasiny dapat berbentuk komunikasi dari atas kebawah, komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi horizontal dan komunikasi diagonal.
a.       Komunikasi dari atas kebawah.
Aliran komunikasi dari atas kebawah umunya terkait dengan tanggung jawab dalam kewenangannya dalam organisasi. Orang tua yang mengunakan jalur komunikasi dari atas kebawah memiliki tujuan untuk mengarahkan, mengkoordinasi, memotivasi, memimpin dan mengendalikan kegiatan yang ada dibawahnya.
b.      Komunikasi dari bawah keatas.
Komunikasi dari bawah ke atas berarti alur informasi berasal bawah menuju keatas. Untuk mencapai keberhasilan komunikasi dari bawah ke atas, orang tua harus benar-benar mempunyai kepercayaan kepada anak-anaknya. Tujuan komunikasi ke atas  adalah untuk mengajukan saran dan mengajukan pertanyaan.


c.       Komunikasi horizontal.
Komunikasi horizontal merupakan komunikasi yang terjadi antara bagian-bagian yang memiliki posisi sejajar/sederajat dalam suatu organisasi.
2.    Saluran komunikasi Nonformal.
Saluran komunikasi yang tidak memperhatikan jenjang hierarki, pangkat, kedudukan/jabatan.
Supaya proses komunikasi antara orang tua di satu sisi dan anak disisi yang lain, maka untuk menjadi komunikator yang efektif,  orang tua seharusnya memiliki kredibilitas yang tinggi. Kredibilitas menurut Aristoteles bisa diperoleh jika seorang komunikator memiliki: ethos adalah kekutan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya, sehingga ucapan –ucapanya dapat dipercaya. Pathos adalah kekuatan yang dimiliki seorang pembicara di mengendalikan emosi pendengarnya, logos adalah kekuatan yang dimiliki komunikator melalui argumentasinya. Selain itu orang tua juga harus memiliki ketrampilan berkomunikasi, mempunyai pengetahuan yang luas, sikap dan memeiliki daya tarik di arti ia memeliki kemampuan untuk melakukan perubahan sikap pada komunikan (Widjaja, 1993: 12)
Selain kredibilitas seorang komunikator, di berkomunikasi juga  di liha dari segi :
1. Pada  tingkat  kultural,  kultur merupakan susunan kerangka kerja komunikasi kata-kata,  tindakan,gerak dan isyarat, nada suara,  kesemuanya itu merupakan sistem-sistem komumikasi yang lengkap dengan makna-makna yang hanya dapat dibaca secara tepat apabila seseorang akrab dengan perilaku di konteks sejarah dan kultural yang hampir sama. Homogenisus apabila orang-orang di suatu kultur berperilaku kurang lebih sama dan menilai sesuatu juga sama. Heterogenisus perbedaan-perbedaan di pola perilaku dan nilai-nilai dianutnya, jadi apabila komunikator memprediksi terhadap reaksi penerima atahu resever sebagai akibat penerimaan pesan dengan menggunakan dasar kultural.
 2. Tingkat sosiologis apabila prediksi komunikator tentang reaksi penerima atahu resever terhadap pesan-pesan yang ia sampaikan didasarkan kepada keanggotaan penerima di di kelompok sosial tertentu. Keanggotaan kelompok merupakan golongan orang-orang yang memiliki karakteristik tertentu yang sama, apakah atas kemauannya sendiri atahu karan beberapa kriteria yang dikenakan oleh yang melakukan prediksi. Kelompok-kelompok yang menggunakan norma-norma dan nilai-nilai tertentu yang dapat digolongkan berdasarkan kepada himogenitas dan heterogenitas yang relatif dari anggota.
3. Tingkat psikologis apabila prediksi mengenai reaksi pihak lain atahu penerima terhadap perilaku komunikasi kita didasarkan pada analisis pengalaman-pengalaman belajar individu yang unik maka prediksi itu didasarkan pada analisis tingkat psikologis. Penegasan ini berarti bahwa mereka telah mendapatkan di karakteristik yang unik mengenai kepribadian satu sama lain. Pertukaran informasi dengan akar psikologi sering kali diatur dengan bentuk peraturan yang aneh dimana peraturan-peraturan itu hanya di ketahui oleh para partisipan dan bahkan sulit di jelaskan pada orang-orang yang di luar (Widjaja, 1993: 5).
C. Film Sebagai Refleksi Sosial Budaya Masyarakat.
Film adalah salah satu media massa yang berfungsi untuk menyampailam pesan dari komunikator (produser) kepada komunikan (penonton). Dalam menyampikan pesan, film tidak bisa berdiri sendiri sebagai media yang benar-benar netral. Film mempunyai kekuatan untuk mengkontruksikan pesan lewat audio visual. Realitas atau fakta yang berada dalam film seolah–olah muncul sebagai representasi peristiwa yang objektif, jujur, adil, dan transparan. Penonton hanya menjadi mayoritas yang diam ketika menonton film.
Film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni akan tetapi lebih sebagai “ praktik sosial ” serta “ komunikasi massa “ (Irianto, 1999: 11). Dalam pesrpektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai seni pembuatan, tetapi melibatkan interaksi yang komplek dan dinamis dari elemen-elemen pendukung produksi, distribusi, maupun eksibisinya. Bahkan lebih luas lagi, perpektif ini mengangsumsikan antara film dengan idiologi kebudayaan dimana film itu diproduksi dan dikonsumsi.
Film sebagai komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi guna memahami hakikat, fungsi dan efeknya. Perspektiktif ini memerlukan pendekatan yang terfokus dalam film sebagai proses komunikasi. Dengan meletakkan film dalam kontek sosilal, politik, dan budaya dimana film itu dibuat dan sekaligus memahami prefensi penonton yang pada gilirannya menciptakan citra penonton itu.
Film adalah bentuk komunikasi massa visual yang dominan karena dianggap mampu menjangkau banyak segmen sosial, serta memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayak.  Ini dikarenakan isi dari pesan yang dibawa oleh film dapat mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan cerita yang dibawa dibalik film dan tidak berlaku sebaliknya. Sedang isi dari film adalah merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan kemudian memproyeksikannya kembalike arah layar lebar. Sementara Turner di Irawanto (1999: 14), film adalah potret dan refleksi dari realitas masyarakat di mana film itu dibuat dan menghadirkan kembali di membentuk realitas masyarakat berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ediologi dari kebudayaan  ke layar lebar. Film dibangi menjadi 3 kategori utama film, yaitu:
a.          Film cerita
      Film cerita adalah karya fiksi yang strukturnya selalu berupa narasi,yang dibuat di 3 tahap. Pertama adalah tahap pra produksi yang merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario bisa diperoleh dari adaptasi novel, cerpen dan lainnya atahu ditulis khusus untuk film tersebut. Kedua adalah tahap produksi yang menjadi masa berlangsungnya pembuatan film berdasar skenario. Ketiga adalah tahap pasca produksi yakni ketika semua bagian film disusun sesuai cerita menjadi suatu kisah yang menyatu.


b.         Film Dokumenter
                    film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaan dan pengalanan di situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung dengan kamera.
c.          Film Animasi
        Merupakan film yang dibuat menggunakan teknik untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda 2 atahu 3 dimensi. Film animasi seperti  Ipin Upin, Naruto, Samurai-X  maupun One Piece sangat digemari oleh semua kalangan (Ardiyanto, 2009: 149).
Dalam penelitian ini yang diteliti adalah film I Not Stupid Too yang termasuk di  film cerita, karena di film ini berupa karya fiksi yang strukturnya selalu berupa narasi yang dapat diperoleh dari adaptasi novel, cerpen dan lainnya atahu ditulis khusus untuk film tersebut.
Terkai dengan film yang akan diteliti, representasi merupakan konvensi-kovensi yang dirancang untuk menarik perhatian dan sekaligus dapat difahami dengan mudah oleh penonton film. Konvensi dalam bahasa representasi film tercermin pada kode-kode senematografis dan narasi yang digunakan.
Konsep awal dalam representasi dari sebuah film adalah ingin menggambarkan kembali suatu hal yang ada pada alur cerita film. Representasi sendiri adalah suatu proses perubahan konsep-konsep idiologi yang abstrak kedalan bentuk yang kongkrit melalui system penandaan yang terdapat dalam film yang berupa: dialog, tulisan, fotografi, film, dan sebagainya (Zaaman, 1993: 83).
Menurut Fiske dalam television culture ada tiga proses dalam dalam menampilkan representasi suatu obyek dalam media:
1)        Bagai mana realitas digambarkan. Dalam bahasa gambar, sering kali aspek ini  dihubungkan dengan pakaian, lingkungan, ucapan dan ekspresi actor film.
2)        Bagaiman realitas digambarkan.Dalam bahasa gambar, alat tersebut berupa kamera, pencahayaan, editing atau musik.
3)        Bagai mana peristiwa tersebut diorganisir dalam konvensi yang diterima masyarakat.
D.  Pembentukan Makna melalui Semiotik Julia Kristeva
Van Zoest di Sobur (2006: 79), Kristeva sebagai pencetus munculnya semiotik ekspansif,  di semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya diganti oleh pengertian produksi aksi yaitu tanda terlalu statis terlalu nonhistoris dan terlalu reduksionistis. Di mana ia membedakan semiotik dan simbolik pada tataran yang sepenuhnya bersifat tektual dan masing-masing berkorespodensi sebagai “genotek” dan “fenotek
Genotek adalah bukan linguistik, ia hanya suatu proses, teks yang mempunyai kemungkinan tak terbatas,  yang menjadi substuktur bagi tek-tek aktual, juga dapat dianggap sebagai suatu sarana yang membuat seluruh evaluasi historis bahasa dan aneka praktik penandaan, sebelum tertimbun dan tenggelam di di fenotek.
Fenotek adalah tataran tempat kita biasa membaca saat kita mencari makna kata, tek aktual yang bersumber dari genotek. Fenotek meliputi seluruh fenomena dan ciri-ciri yang dimiliki oleh struktur bahasa,  pengarang dan gaya interprestasi.  Meskin demikian baik fenotek dan genotek tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, mereka selalu ada bersamaan di proses yang disebut sebagai proses penandaan (Sobur, 2006: 81).
Kristeva membedakan antara dua praktik pembentukan makna di wacana yaitu :
a.     Signifikasi yaitu makna yang dilembagakan dan dikontrol secara sosial (tanda disini berfungsi sebagai refrensi dari konvensi dan kode-kode sosial yang ada dan berhubungan dengan ritme, nada, dan dimensi gerak dari pratik-pratik penandaan, tanpa simbolik signifikasi hanya tinggal iguan belaka).
b.            Significance yaitu proses penciptaan yang tanpa batas dan takterbatas, pelepasan rangsangan-rangangan di diri manusia melalui ungkapan bahasa. Ia merupakan sebuah perjalanan menuju batas-batas terjauh dari subjek, batas terjauh dari konvesi moral, tabu dan kesepakatan sosial di suatu masyarakat.
Semanalisis adalah pendekatan terhadap bahasa sebagai suatu proses penandaan yang heterogen dan terletak pada sobjek-subjek yang berbicara (bila dalan film untuk memaknai tek dengan pendekatan cenematografi yang meliputi teknik pengambilam gambar, pencahayaan, musik, arti warna dari pakean yang dipakai oleh aktor) dan mengkaji strategi-strategi bahasa yang khas serta terhadap bahasa sebagai wacana yang spesifik bukan sebagai system (language) yang berlaku umum, karena sistem ini mendekati dan memahami makna secara konstektual, karena pengkajian tek beserta dengan konteksnya masing-masing adalah sama pentingnya (Sobur, 2006: 86).
Berdasarkan pengertian diatas di pemaknaan tanda (tek) di film berdasarkan teori semiotik Julia mengunakan tiga komponen yaitu Signifikasi diambil langsung dari potongan film yang menjadi objek penelitian, Significance pemaknaan tanda dari potongan film, sedang Semanalisis adalah pemaknaan tanda dilihat dari aspek cinematografi.
E.   Akhlak dalam Keluarga
Akhlak adalah sifa–sifat yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang tertanam dirinya dan selalu ada pada dirinya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan–perbuatan baik, disebut akhlak yang mulia, atahu perbuatan buruk, disebut akhlak yang buruk (Asmara, 1994: 1). Seorang anak  mempunyai kelakuan yang baik atahu buruk itu tergantung pada orang tua yang memberikan pendidikan pada anak, jika pembinaan dan didikan benar yaitu menuju kebaikan maka lahirlah perbuatan baik dan jika pendidikannya salah maka lahirlah perbuatan yang salah. Meskipun teman pergaulan dan lingkungan juga sangan mempunyai andil di pembentukan sikap anak,  namun lingkungan keluargalah yang paling besar berperan di menanamkan akhlak pada anak.
Di bahasa Indonesia secara umum, akhlak diartikan dengan tingkah laku atahu budi pekerti. Kata akhlak itu berasal dari bahasa arab yang berarti bentuk kejadian, di hal ini tentu bentuk batin (psikis) seseorang. Pengertian akhlak sejara etimologi berasal dari bahasa arab akhlak  yang berarti budi pekerti sinonimnya etika dan moral. Etika berasal dari bahasa latin etos yang berarti kebiasaan sedang moral berasal dari bahasa latin juga mores yang berarti kebiasaan (Daradjat.1996: 26 ).
Di kamus ilmiah, akhlak diartikan budi pekerti, tingkah laku, atahu perangai seseorang (Purwasito. 1994: 14). Ismail mengatakan bahwa di pengertian sehari–hari perkataan akhlak umumnya disamakan dengan sopan santun atahu kesusilaan (Thaib, 1984: 4). Adapun pengertian Akhlak secara terminologi (istilah), menurut Imam Ghazali,
         “ Akhlak itu adalah suatu istilah tentang bentuk batin yang tertanam di jiwa seseorang yang mendorong ia berbuat (bertingkah laku)  bukan karena suatu pemikiran dan bukan pula karena suatu pertimbangan. Akhlak adalah sifat yang melekat di jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah bertindak tanpa banyak pertimbangan lagi. Sebagian ulama mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang terpendam di jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul waktu ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah)”(Bakry. 1992).
Sifat yang tertanam di jiwa yang dengannya lahirlah macam– macam perbuata baik atahu buruk tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Akhlak ialah kebiasaan kehendak. Berarti kehendak itu apabila membiasakan sesuatu maka disebut akhlak (Anis, 1997: 62).
Akhlak merupakan kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan manusia, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Akhlak tidak selalu identik dengan pengetahuan, ucapan atahupun perbuatan. Al–Qur’an selalu mendasarkan, bahwa akhlak baik atahu buruk ahirnya akan memantul kembali pada diri seseorang (Sukamto, 1994: 80).
Akhlak Mazmumah (tercela) adalah perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama (Allah dan RasulNya). Orang yang buruk akhlaknya menjadi orang lain benci kepadanya. Orang yang akhlaknya buruk tidak akan mencapai kebahagiaan. Berbicara jorok/kasar, bohong, sombong, malas, durhaka, khianat, iri, dengki, membangkang, munafik, hasud, kikir, serakah, pesimis, putus asa, marah’, putus asa, takabbur, hasad, dendam, giibah, fitnah, perbuatan dosa besar ( berjudi, mencuri/merampok,zina) (Khalid, 2008: 37).
F.       Representasi
Representasi adalah menggunakan bahasa untuk  menggungkapkan suatu hal yang memiliki arti. Representasi juga merupakan bagian yang penting dalam proses di mana sebuah arti dibentuk dan dibenturkan dengan budaya. Hal ini meliputi penggunaaan bahasa, tanda–tanda, dan gambar yang mewakili untuk merepresentasikan suatu hal (Hall, 2002: 15).
Terdapat 3 pendekatan dalam representasi:
a.    Reflective
          Makna adalah pemikiran yang diletakkan pada obyek, orang ataupun even di dunia nyata dan fungsi bahasa seperti cermin untuk merefleksikan makna sesungguhnya yang telah ada.
b.    Intentional
Bergantung pada pembicara atau pengarang yang menciptakan makna yang unik di dunia melalui bahasa.
c.    Constructionis
”Things don’t mean: we construct meaning, using representational system-concept and sign.”Sesuatu yang tidak berarti kami membangun maksud, mengunakan representasi sistem konsep dan tanda (Hall, 2003: p.25).
Dalam penelitian ini mengunakan pendekatan representasi dengan pendekatan  Reflective yaitu makna adalah pemikiran yang diletakkan pada obyek, orang ataupun even di dunia nyata dan fungsi bahasa seperti cermin untuk merefleksikan makna sesungguhnya yang telah ada.
Konsep merupakan representasi yang memperbolehkan kita untuk berpikir. Tetapi kita belum selesai dengan sirkulasi representasi ini, karena manusia harus berbagi peta konseptual yang memiliki kesamaan, sehingga dapat memahami dunia melalui sistem klasifikasi yang sama di kepala kita.
Representasi dapat hadir dalam sebuah percakapan, tulisan, dan didalam sebuah media adio–visual. Representasi tidak hanya mengacu pada bagaiman cara identitas tersebut direpresentasikan dalam bentuk teks. Inti kajian representasi memokuskan kepada isu–isu yang dibentuk sehingga menjadi sesuatu yang kelihatan alami. Maka representasi itu dikatakan berhasil bila apa yang ditampilkan dimedia massa dipercayai oleh masyarakat sebagai sebuah normalisasi alami yang tidak perlu di pertanyakan kembali karena sudah dianggap sebuah kewajaran.
Bahasa merupakan medium perantara dalam memaknai sesuatu hal di dunia, memproduksi serta mengubah makna. Dalam tataran ini bahasa beroperasi sebagai sistem representasi. Melalui bahasa yang berupa simbol, tanda tertulis, lisan atau gambar. Manusia mengungkapkan pikiran, ide dan konsep tentang suatu hal. Makna sangat tergantung dari cara dalam merepresentasikannya. Representasi dapat dipahami sebagai sebuah gambaran yang tajam dan akurat. Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami sebagia peran aktif dan kreatif dalam memaknai dunia.
Representasikan menunjukkan pada bagaimana seseorang, kelompok, gagasan, atau pendapat ditampilkan dalam pemberitaan, Representasi ini penting dalam:
a)    Apakah seseorang, kelompok, seseorang, gagasan tersebut ditampilkan sebagai mana mestinya, mengacu apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apaadanya, atau diburukkan, penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu.
b)    Bagaimana representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek tersebut ditampilkan. Menurut John Fiske dalam Eriyanto, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, paling tidak ada tiga proses:
a)    Peristiwa yang ditandakan sebagai realitas, bagaimana peristiwa itu di kontroksikan sebagai realitas oleh media. Dalam bahasa gambar, ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakian, lingkungan, ucapan dan ekspresi.
b)    Ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas dan bagaimana realitas itu digambarkan, disini kita menggunakan perangkat secara teknik. Dalam bahasa gambar alat itu berupa kamera, pencahayaan, editing, atau musik. 
c)    Bagaimana peristiwa itu diorganiserkan kedalam konveksi– konveksi yang diterima secara idiologis. Bagaimana kode–kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan kedalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan yang ada di dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:120).
G.      Cinematografi.
Sinematografi adalah berasal  dari bahasa Inggris Cinematography yang berasal dari bahasa Latin kinema 'gambar'. Sinematografi sebagai ilmu  merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik pengambilan gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide (dapat mengemban cerita) (belajarnge.blogspot.com)
Mengkaji film dengan menggunakan metode semiotik juga perlu memperhatikan aspek sinematografi yang meliputi berbagai hal, seperti teknik pengambilan gambar, lighting, angle camera, musik, dan yang lainnya. Teknik pengambilan gambar mampu memunculkan kode-kode tertentu yang dapat memberikan sebuah makna tertentu pula. Berikut adalah penjelasan yang dirangkum di sebuah bagan:
Pengambilan Gambar
Makna
Extreme Long shot
Kesan luas
Full Shot
Hubungan social
Big Close Up
Emosi, dramatik, momen penting, sangat detail
Close Up
Intim atahu obyek dekat
Medium Shot
Hubungan personal dengan subyek, menunjukkan ekspresi
Long Shot
Konteks perbedaan dengan public
Sudut Pengambilan Gambar (angle)
Low
Percaya diri, kuat, dominan
Eye Level
Kesejajaran, kesamaan dan sederajat
High
Terintimidasi, lemah dan lebih kecil
Tipe Lensa
Wide Angle
Dramatis
Normal
Normalitas dan keseharian
Telepoto
Tidak personal
Fokus
Selective Fokus
Meminta perhatian (tertuju pada satu obyek)
Soft Fokus
Romantis serta nostalgia
Deep Fokus
Semua unsur adalah penting
Pencahayaan (lighting)
High Key
Riang, formal dan cerah
Low Key
Suram, intim, misteri dan muram
                                                Gambar 1
Sumber : Pratista, 2008
Pengambilan gambar dengan teknik Extreme Long Shot merupakan jarak yang paling jauh dari obyek yang dibidik. Teknik ini pada umumnya untuk menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh dan panorama yang luas (Pratista, 2008: 105). Long Shot merupakan pengambilan gambar obyek atahu tubuh manusia tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Teknik Close Up mampu memperlihatkan obyek atahu ekspresi wajah dengan jelas dan detail. Biasanya digunakan untuk adegan dialog yang intim. Teknik ini berfungsi untuk memfokuskan sebuah aksi yang sedang dilakukan. Sedangkan teknik Big Close Up menangkap lebih detail bagian wajah, mata, hidung atahu bagian obyek lainnya. Medium Shot memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas, gerak tubuh dan ekspresi wajah tampak.
Lensa kamera mampu memberikan efek kedian, dimensi obyek, ruang serta ukuran.  Jenis lensa menentukan efek perspektif berbeda karena memiliki panjang titik api (focus length) yang beda pula. Jenis Wide Angle membuat obyek terlihat lebih jauh dari jarak sebenarnya. Ruangan tampak lebih luas dari ukuran nyata. Benda juga bisa terlihat lebih tinggi. Normal (Normal Focus Length) menghilangkan efek distorsi perspektif sehingga efek yang dihasilkan terlihat normal dan sesuai kenyataan. Lensa Telephoto mampu mendekatkan jarak sehingga obyek pada latar depan dan obyek pada posisi latar belakang akan tampak berdekatan. Efek yang dihasilkan berupa efek “dekat tetapi jauh” seperti halnya teleskop atahu teropong.
Sudut pengambilan gambar merupakan sudut pandang kamera  terhadap obyek di di frame. High Angle adalah teknik yang menempatkan kamera di atas obyek sehingga mengarah tegak lurus terhadap obyek di bawahnya. Kamera ini membuat sebuah obyek seolah tampak lebih kecil, lemah dan terintimasi. Eye Level Angle menempatkan obyek sejajar dengan pandangan mata manusia. Kesan yang ditimbulkan natural dan sesuai kenyataan. Sedang teknik Low Angle menempatkan kamera lebih rendah dari obyek sehingga mengesankan obyek lebih besar. Efek yang ditimbulkannya menjadikan obyek menjadi dominan, dan kuat.
Aspek pencahayaan (lighting) merupakan faktor penting untuk mewujudkan sebuah film. Semua gambar di film adalah hasil manipulasi cahaya. Pengaturan pencahayaan menentukan suasana serta mood sebuah film. Teknik  High Key Lighting merupakan tata cahaya yang menciptakan batas tipis antara area gelap dan terang. Jenis teknik ini biasanya digunakan untuk adegan yang bersifat formal. Efek bayangan obyek sangat diminimalisir. Low Key Lighting merupakan teknik tata cahaya yang membedakan secara jelas batasan antara area gelap dengan terang. Teknik ini biasa digunakan untuk adegan misteri, mencekam suram dan intim.
Musik merupakan salah satu elemen yang penting di memperkuat mood, nuansa serta suasana sebuah film. Musik dapat menjadi jiwa (ruh) sebuah film. Musik di film dapat di bagi menjadi dua:1. Ilustrasi musik adalah musik latar yang mengiringi aksi selam cerita berjalan. Musik latar tersebut sering berupa musik tema, musik tema membentuk dan memperkuat mood, cerita, serta tema utama filmnya. Tempo musik juga dapat mempengaruhi mood. Tempo cepat sering digunakanuntuk adegan aksi fiksi yang berkarakter cepat. Semantara tempo lambat sering digunakan untuk adegan yang berkarakter romantic dan dramatis. 2. Lagu sebuah film juga sering kali memeliki lagu tema beserta liriknya juga sering kali digunakan untuk mendukung mood adegannya, seperti sedih, bahagia, mencakamdan sebagainya.
Selain musik di film juga didukung dengan efek suara, salah satu fungsi utama efek suara adalah sebagai pengisi suara latar, agar penonton film sebisa mungkin mendengar apa yang seharusnya mereka dengar di sebuah lokasi cerita, sehingga terdengar nyata layaknya seperti pada lokasi sesungguhnya (Pratista, 2008: 156).
H.      Atri Warna dalam Film
Setiap warna mempunyai arti warna yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Di berbagai hal, warna bisa memberikan kesan tersendiri. Seseorang yang mengenakan baju warna hijau pupus bisa menyiratkan kesan ketenangan, kesejukan dan kedamaian.  Leatrice Eisman seorang konsultan warna dan penulis buku More Alive With Colour, memberikan penjelasan mengenai warna dan artinya (www.kompas.com ).
1.    Merah terang.
Warna ini melambangkan kekuatan, kemauan dan cita-cita. Bersifat agresif, aktif dan eksentrik.Pengaruh warna ini di psikologi adalah berkemauan keras, penuh energi, jantan dan mendominasi.
Di China warna merah memiliki banyak makna. Warna ini merupakan warna eye-catching, keseriusan, khidmat, kegembiraan dan keberuntungan.
2.    Merah jambu
Warna ini melambangkan keromantisan, kelembutan, kasih sayang, cinta dan feminim. Warna merah jambu memiliki sifat menuntut di kepasrahan, menggemaskan dan lucu. Meskipun menyiratkan sesuatu yang lembut dan menenangkan namun membuat kurang bersemangat dan melemahkan energi.


3.    Biru
Warna ini melambangkan ketenangan sempurna serta memberikan kesan tenang dan stabil. Warna biru tua menyiratkan perasaan yang mendi. Bersifat cerdas, kooperatif, perasa, dan konsentrasi. Warna biru muda melambangkan cita-cita. Mempunyai sifat bertahan, protektif serta teguh pikiran. Warna ini memberikan pengaruh teguh pendirian, keras kepala, serta bangga diri. Respon psikologi pada warna ini adalah kepercayaan, keamanan, kebersihan, keteraturan, konservatif dan teknologi.
4.    Kuning
Melambangkan imajinasi, kegembiraan, dan muda. Warna ini meningkatkan konsentrasi serta melambangkan persahabatan. Mempunyai sifat santai dan leluasa. Meskipun berubah-ubah namun penuh harapan dan semangat.
5.    Hijau
Memiliki arti kesejukan, kekerasan hati, ketabahan, kesehatan serta keinginan. Memiliki kepribadian keras dan berkuasa. Warna ini meningkatkan perasaan bangga dan superior dari yang lain. Respon psikologi warna ini adalah alami, sehat, keberuntungan serta pembaharuan.
Di masyarakat Eropa, warna ini merupakan warna yang biasa melambangkan alam, namun di Timur Tengah warna ini dimaknai sebagai lambang kesuburan, terutama bagi umat Islam, warna ini adalah warna surga yang disukai.

6.    Abu-abu
Warna ini cenderung netral, menunjukkan arti warna yang serius dan merupakan warna dari alam yang permanen. Respon psikologi warna ini adalah intelek, masa depan, kesederhanaan dan kesedihan.
7.    Hitam
Memiliki makna elegan, kuat, kehampaan, kematian, kegelapan, kepunahan, binasa, kerusakan dan kehidupan yang terhenti. Warna ini melambangkan duka dan murung. Di sisi lain hitam mengesankan klasik, dan abadi.
8.    Coklat
Memiliki kesan pesimis, kurang toleran, dan suka merebut.Respon psikologinya meliputi tanah, bumi, daya tahan, kenyamanan.
9.    Ungu
Memberi kesan mendi, peka, erotis, dan intim. Bersifat kurang teliti namun penuh harapan. Respon psikologi yang diberikan adalah bangsawan, keangkuhan, transformasi, spiritual, misteri dan kekasaran.
10.                         Putih
Memberi kesan kesucian, bersih, jujur, sederhana, baik dan netral. Warna ini melambangkan malaikat dan tim medis, akan tetapi juga bermakna kematian karena berkonotasi kehampaan, kain kafan dan hantu.